Authored by Prof. Dr. H. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A.
Written and Briliantly Edited by Ahmad Tamami, M.H.

Pernah seorang ibu datang kepada saya dengan mata sembab. Ia menangis perlahan sambil menahan rasa kecewa. “Ustadz,” katanya dengan suara gemetar, “berhutang saya menyekolahkan anak saya. Tamat dia kuliah, tapi sudah bertahun-tahun ini menganggur. Tidak bekerja. Sedih hatiku, Ustadz. Sepertinya sia-sia saja saya mengkuliahkan dia.

Saya memandang wajahnya, dan saya melihat kelelahan yang bukan hanya karena usia, tapi karena beban harapan yang tak kunjung tercapai. Memang fitrah manusia merasa kecewa. Tidak salah merasa sedih. Tapi yang berbahaya adalah ketika kita mulai menganggap perjuangan itu sia-sia. Hati-hati, karena saat itu, tanpa sadar kita sedang menggugat takdir Allah.

Saya katakan padanya, lebih baik kalau setiap malam bangun tahajjud dan pelan-pelan bicara kepada Allah, curhat paling dalam. Katakan, “Ya Allah, sesungguhnya saya tahu tidak ada yang salah dalam takdir-Mu. Bismillah, tawakkaltu aalallah. Saat ini ya Allah, saya ingin merenovasi hati saya. Capek saya mengandung sembilan bulan, kecil ku rawat dan manja-manja, besar ku sekolahkan. Tapi sekarang, saya jadi keras padanya karena belum bekerja; saya hardik dia karena tak punya penghasilan. Ya Allah, meskipun rumah kami sempit, luaskanlah hati kami. Jadikan anakku merasa gembira tinggal di rumah ini. Harapan saya ya Allah, jika dunia belum berpihak padanya, maka jadikanlah dia anak yang taat kepada-Mu. Karena itulah rezeki yang paling besar yang aku dambakan.

Jangan terlalu keras pada dunia anak mu. Dunia ini tempat transit, bukan rumah utama. Berikan energi positif kepada anakmu. Boleh-boleh saja untuk menasihati dia untuk terus mencari kerja, tapi katakan dengan penuh cinta, “Nak, carilah kerja yang halal. Tapi kalau belum dapat, jangan malu pulang. Ini rumahmu. Makanlah dari masakan ibu. Di sini tempatmu diterima, dalam kondisi apa pun. Kau ku terima bukan karena apa-apa, tapi karena kau adalah anakku.

Anak-anak kita bukan robot yang harus langsung berfungsi begitu tombol lulus ditekan. Mereka manusia, dengan ritme hidup masing-masing. Bisa jadi belum bekerja, tapi setiap malam dia menangis minta petunjuk Allah. Bisa jadi terlihat malas, tapi sebenarnya dia sedang berjuang melawan kecewa. Dan bukankah sebagai orang tua kita justru harus menjadi tempat yang paling nyaman untuk kembali?

Menjadi orang tua itu bukan hanya soal membesarkan anak, tapi juga tentang tidak pernah berhenti mendoakan dan memaafkan mereka. Jangan sampai karena belum melihat hasil sesuai ekspektasi, kita lupa akan proses panjang yang sudah kita lalui bersama mereka. Bahkan bisa jadi doa-doa kita dulu—“Ya Allah, jadikan anakku orang baik”—sedang dikabulkan Allah, tapi belum sampai pada babak akhir yang kita inginkan.

Kadang kita terlalu fokus pada apa yang bisa dilihat orang: pekerjaan, penghasilan, status. Padahal, tidak sedikit orang tua yang anaknya punya semua itu tapi hubungannya hambar, tak ada cinta, tak ada hormat, bahkan jarang pulang. Kita lupa, bahwa sukses bukan hanya soal gaji, tapi soal apakah dia tahu jalan pulang ke rumah dan kepada Allah.

Kita ini manusia, bukan malaikat. Kadang kecewa, kadang lelah, kadang ingin menyerah. Tapi tugas kita bukan mengadili hasil, melainkan terus menanam kebaikan. Allah sendiri berfirman:

وَلَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْكَـٰفِرُونَ ٨٧

Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.(QS. Yusuf: 87)

Lihat ayat itu, betapa keras peringatan Allah kepada siapapun yang berputus asa. Maka, jika engkau seorang ibu atau ayah, jangan pernah menyerah dalam mencintai dan mendampingi anakmu. Kalau hari ini mereka belum bisa berdiri, bantu mereka duduk. Kalau mereka belum bisa berlari, bantu mereka melangkah. Dan ketika mereka jatuh, jangan mencaci, tapi ulurkan tangan dan peluklah mereka.

Lucunya, banyak anak yang justru merasa lebih diterima oleh dunia luar ketimbang rumahnya sendiri. Mereka merasa lebih nyaman di tongkrongan daripada di ruang makan rumah sendiri. Kenapa? Karena mereka merasa dihakimi di rumah, dibanding-bandingkan, dianggap beban. Padahal, bukankah rumah harusnya jadi tempat pertama untuk pulih, bukan untuk dipersalahkan?

Saya jadi teringat seorang anak muda yang curhat, “Pak Ustadz, saya sebenarnya malu pulang karena saya belum bisa bawa uang. Tapi kadang saya cuma ingin makan masakan ibu dan tidur siang di rumah.” Betapa sederhana harapan mereka, betapa ringan permintaannya. Tapi karena gengsi dan takut disambut amarah, dia lebih memilih diam dalam sepi.

Maka jika engkau punya anak yang belum berhasil secara dunia, tetaplah sambut dia dengan cinta. Jangan biarkan rasa kecewa menutupi kenangan masa kecil ketika engkau pertama kali menggenggam tangannya untuk belajar jalan. Jangan biarkan pengharapan dunia menghapus harapan akhirat.

Berdoalah kepada Allah agar kita diberi hati yang luas. Hati yang sabar dalam menunggu, hati yang lapang dalam menerima, dan hati yang kuat untuk terus mencintai walau keadaan belum berubah. Mungkin rezeki anakmu bukan gaji tinggi, tapi kesetiaannya mendampingimu hingga tua. Mungkin bukan jabatan besar, tapi keikhlasannya merawatmu kelak. Bukankah itu lebih mahal dari apapun?

Jangan biarkan amarah atau kecewa membu-takanmu dari melihat nikmat yang lain. Terkadang kita terlalu sibuk melihat kekosongan, sampai lupa bahwa gelas kita masih setengah penuh. Anakmu mungkin belum bekerja, tapi sehat. Dia mungkin belum sukses, tapi masih shalat lima waktu. Apakah itu bukan nikmat?

Dan akhirnya, semua ini kembali pada keikhlasan kita sebagai orang tua. Mau terus menanam meski belum panen. Mau terus mencintai meski belum dipuji. Mau terus mendoakan meski belum tahu kapan terkabul. Sebab, tidak ada yang sia-sia di jalan Allah. Bahkan tetes air mata pun dicatat sebagai amal. Maka, menangislah dalam doa, bukan dalam kecewa.

baca juga yuk! https://www.inhuwa.com/2025/06/jadilah-orangtua-yang-bijak.html