Falsafah Akad dalam Ekonomi Islam

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafaz dan susunan redaksinya (Zaidan, 2020: 14).

Setiapkali kehendak penawaran diucapkan (ijāb), lalu disambut dengan pernyataan setuju (qabūl), maka terjadilahakad (Mufid, 2021: 90). Makna kehendak dalam akad, diaksentuasikan pada ‘suatu tujuan’ tertentu. Karena memang, sebagaimana kaidah fikih di atas, akad adalah manifestasi dari ‘maksud’ pihak-pihak yang melakukan akad. Dalam lapangan ekonomi, maksud atau tujuan akad adalah harta benda.

Kalau ditilik lebih jauh, akad menjadi pola prilaku manusia yang sifatnya al-d}arūriyah (tidak boleh-tidak) (Misno, 2020: 146). Sebab, di balik akad ada kepatuhan manusia terhadap kodratnya, yang tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya secara sendiri—kebutuhan kerapkali menjadi maksud yang diakadkan. Ber-akad, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh manusia, sebab ia adalah makhluk sosial dan saling bergantung.

Dengan demikian, dalam melakukan akad, ada beberapa prinsip yang mesti diperhatikan oleh pihak-pihak yang berakad (Mufid, 2021: 105-106):

Pertama, akad mesti dilandasi oleh nilai kemanusiaan dan kekeluargaan. Hal ini berarti, masing-masing pihak yang berakad dituntut untuk berbuat baik dengan ukuran kemanusiaannya: berlaku baik kepada orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan baik oleh orang lain. Kalau kemudian sengketa tidak bisa dihindarkan, maka mesti diselesaikan dengan mengutamakan cara-cara kekeluargaan.

Kedua, akad mesti dilaksanakan dengan mengacu pada nilai gotong royong. Hal ini mengandung maksud, bahwa manusia sebagai makhluk sosial, untuk dapat terpenuhi kepentingan dan hajatnya, membutuhkan kerjasama dengan pihak lain secara kolektif.

Ketiga, akad mesti didasari nilai kesukarelaan. Hal ini berarti bahwa dilarang memaksakan kehendak, sehingga salah satu pihak dalam akad merasa terpaksa. Pun demikian, dalam berakad tidak boleh melakukan manipulasi objek akad, sehingga salah satu pihak akan dirugikan.

Keempat, akad mesti berpegang pada nilai keadilan. Hal ini berarti memberikan perlakuan proporsional (seimbang) kepada setiap pihak yang berakad. Proporsional dalam akad juga dimaksudkan bahwa, bukan hanya tidak boleh zalim terhadap orang lain, tapi juga mesti melindungi diri sendiri agar tidak dizalimi oleh orang lain.

Dalam perspektif maqās}id al-syarīah, keabsahan dan idealitas akad mesti berpedoman pada keempat nilai di atas. Sebab, dalam Islam, sejatinya akad dalam transaksi ekonomi, mengandung hikmah berupa jaminan dan perlindungan terhadap harta benda dan kepemilikan (h}ifz} al-māl), yang merupakan tujuan atau maksud dari akad itu sendiri.

Penulis: Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A.

Editor: Ahmad Tamami Ja’far

Sumber Bacaan:

Misno, A. (2020. Falsafah Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani.

Mufid, D. (2021). Filsafat Hukum Ekonomi Syariah: Kajian Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Akad-Akad Muamalah Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Zaidan, A.K. (2020). Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi Al-Syariah Al-Islamiyyah Nuaddi ila Al-Faqri wa Kharabi Al-Buyuti. Terj. Ridha, M.M. Cet. Ke-6. Jakarta: Al-Kautsar