Falsafah Hikmah | Ditulis oleh Prof. Dr. H. M. Syukri Albani Nasution, M.A | 2024
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.” Al-Baqarah [2]: Ayat 269
Seringkali kita mendengar orang-orang mengatakan, “ambil saja hikmahnya!”. Mungkin, kita juga pernah mengatakan demikian. Namun, apa sebenarnya makna hikmah tersebut? Sebelum kita menjelaskan apa itu hikmah, mungkin lebih baik kita ajukan pertanyaan lain lebih dulu, yaitu, mengapa orang-orang atau kita sendiri mengatakan, ambil saja hikmahnya?
Secara umum, perkataan “ambil saja hikmahnya!” disebabkan oleh situasi yang “mewajarkan kesabaran”. Ketika mengalami musibah, orang-orang berharap bisa memahami hikmah; pada saat hasil kerja tak sesuai rencana, orang-orang juga mengharapkan bisa memahami hikmah. Di sini, hikmah dipahami sebagai suatu kebaikan dibalik sesuatu yang tampaknya tidak baik. Namun, apakah makna hikmah memang sesederhana itu? Boleh saja dipahami demikian, tapi makna hikmah tidak sesederhana itu.
Secara lebih luas, hikmah itu bisa kita pahami dengan dua konsep. Pertama, hikmah sebagai filsafat, dalam arti kebijaksanaan teoritis yang dihasilkan dari pemahaman terhadap esensi suatu objek (situasi atau keadaan). Kedua, hikmah berarti pula sebagai phronesis, yaitu kebijaksanaan praktis. Ini berarti kesintasan seseorang dengan tetap bertahan pada kebaikan; apapun yang terjadi atau apapun yang dialami oleh seseorang tak membuat dirinya menyerah untuk mempertahankan kebaikan.
Meskipun hikmah kita pahami dengan dua konsep, yakni sebagai filsafat dan phronesis, tapi bukan berarti keduanya terpisah. Sebab, menurut penulis, hikmah itu adalah satu nilai yang didapat oleh manusia dari ilmu yang ia pelajari, dan nilai itu bisa bertumbuh sebagai sebuah manfaat dan keteladanan.
Agar lebih mudah memahami ihwal hikmah, kita bisa memaknainya lewat kisah (rekaan) seorang Chef terkenal di Germany. Konon, Chef ini berasal dari Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Syahdan, ada seorang Chef yang sangat terkenal, bahkan levelnya berskala internasional. Masakan Chef ini diminati oleh berbagai kalangan lintas negara. Tak heran, Chef ini selalu dikelilingi oleh wartawan yang ingin mengulik rahasia suksesnya.
“Chef, baru-baru ini Anda dinobatkan sebagai salah satu Chef terbaik sepanjang sejarah. Kami pun berterima kasih karena telah diizinkan bertemu dengan Anda secara pribadi. Ini kesempatan yang langka, karena kami mengetahui Anda tak memiliki banyak waktu, bahkan beberapa presiden pun harus menunggu Anda meluangkan waktu untuk bertemu”, ujar seorang wartawan.
“Bisa kita mulai wawancaranya? Saya hanya punya waktu 5 menit sebelum menuju bandara”, sahut Chef.
“Baik Chef, izinkan kami mengetahui apa rahasia sukses Anda dalam memasak hingga Anda bisa mencapai posisi seperti saat ini?” tanya wartawan.
“Kalau pertanyaan itu, tentu bukan rahasia lagi, saya belajar masak dari inang (Ibu: bahasa Mandailing) saya. Cukup ya, silahkan tanya langsung ke beliau”, tutup Chef sembari meninggalkan lokasi wawancara.
Setelah proses wawancara selesai, para wartawan pun bergegas mencari tahu lokasi kediaman ibunda dari Chef tersebut. Betapa tidak, setiap laman berita yang memuat cerita tentang Chef selalu laris di pasaran; para pembaca selalu menanti kabar terbaru tentang Chef. Tentu, perusahan-perusahaan media bersedia menyediakan modal besar agar berita tentang Chef bisa menjadi tajuk utama di laman berita yang mereka publikasikan.
Usut punya usut, ternyata Ibunda Chef berada di Kabupaten Mandailing Natal. Dengan menempuh perjalanan panjang (dari Gemany ke Mandailing Natal), akhirnya para wartawan berhasil menjumpai ibunda si Chef, yang pada saat itu sedang mencuci pakaian di Sungai Muara Batang Gadis.
“Bu Nasution, apakah Ibu benar-benar Ibunda dari seorang Chef di Germany?”, tanya wartawan terburu-buru.
“Aha dei Chef Koum? Get mangua hamu tu son? (Apa itu Chef? Dan, apa tujuan kalian menemui saya?)”, ujar Bu Nasution.
Setelah para wartawan saling-pandang, lalu mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka menjumpai Bu Nasution yang masih merasa keheranan. Bu Nasution pun menjawab wartawan dengan ringkas, “Gak ada anakku tukang masak, cuman satu anak ku, si Kocu”.
Salah seorang wartawan berinisiatif menunjukkan poto si Chef kepada Bu Nasution. “On mada si Kocu, dongan ia do hami, pasuruh jolo ia mulak, nga unjung mulak bayoi (ya, inilah anak ku, si Kocu. Kalau kalian kawan-kawannya, suruh dia segera pulang! Sudah lama dia gak pulang ke rumah)”, jelas Bu Nasution.
Para wartawan pun saling-pandang untuk ke sekian kalinya. Seolah-olah tak mau waktu terbuang, salah seorang wartawan langsung menjelaskan perihal Kocu yang saat ini sudah menjadi salah satu Chef terkenal di dunia. Para wartawanpun menjelaskan hasil wawancara mereka bersama Kocu, yang mengatakan bahwa rahasia suksesnya menjadi Chef adalah ibunya.
Setelah tertawa untuk beberapa saat, Bu Nasution lalu menjelaskan kepada para wartawan, “Igabusi ia do amui Koum, nga malo au mamasak dabo; i bagas pe sering do hami manabusi di lopo nasi padang; madung mada, bahat dope karejoku.” (Agaknya kalian sudah dibohongi, saya sama sekali tidak pandai memasak, mana mungkin seseorang belajar memasak dari saya sampai menjadi Chef terkenal; bahkan untuk makan di rumah saja kami sering membeli nasi padang; sudah ya, wawancara kita selesaikan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang segera saya tuntaskan).
Di tengah kebingungan, para wartawan pun mau tak mau harus kembali ke Germany, padahal belum mendapatkan rahasia Kocu hingga menjadi Chef yang terkenal. Kali ini, para wartawan itu beruntung. Seolah-olah tahu hasil jawaban yang diberikan ibunya kepada wartawan, si Kocu pun secara pribadi mengundang wartawan untuk kembali menemuinya. Pertemuan lanjutan pun diadakan.
Tanpa basa basi, Kocu, si Chef terkenal lalu menjelaskan kepada wartawan, “kalian tahu apa kehebatan ibu saya? Begini, sewaktu saya kecil, ibu saya memang hanya pandai memasak nasi goreng, ikan goreng, dan rebusan sayur. Tapi, siapapun yang memakan makanan ibu, saya jamin tidak hanya kenyang secara fisik, lebih dari itu kita juga akan nyaman secara batin”.
Di tengah kesibukan wartawan merekam dan mencatat apa yang disampaikan si Kocu, lalu Chef hebat itu pun melanjutkan, “saya tahu, ibu saya tak paham soal racikan bumbu dan sebagainya untuk menyedapkan rasa makanan. Tapi, ibu saya selalu memasak dengan penuh cinta dan selalu menjaga apa yang kami makan senantiasa bersumber dari yang halal”.
“Bisa jelaskan lebih detail, Pak?”, sela seorang wartawan.
“Seharusnya kita sudah paham, bahwa rahasia sukses saya dalam memasak, bukan diajarkan resep-resep ampuh oleh ibu saya. Tapi, ibu saya adalah insprasi saya dalam memasak. Saya tak perlu aneka jenis resep makanan, saya hanya selalu berusaha agar siapapun yang memakan masakan saya bisa merasakan cinta kasih dari seorang Chef sebagaimana cinta kasih seorang ibu ketika memasak untuk anak-anaknya. Saya pun tidak pernah memasak makanan yang nonhalal!”, tutup Kocu, si Chef terhebat.
Selesai sudah cerita si Kocu, Chef handal. Kita hanya perlu memahami, bahwa si Kocu mampu menangkap makna di balik apa yang dihidangkan ibunya, bukan hanya makanan tapi cinta kasih. Pun demikian, sekali pun sudah di Eropa, si Kocu tetap berpegang teguh pada kehalalan masakannya. Ini hikmah bagi Kocu dan rahasia suksesnya: Filosofis dan Phronesis.
Sampai di sini, kita juga dapat memahami bahwa, hikmah itu bukan kausalitas. Seandainya hikmah itu diberlakukan kausalitas, ketika diwawancara, Bu Nasution seharusnya menjawab, “Ya, saya banyak ajarkan Kocu resep A, B, dan C, sampai Z”. Tentu ini jawaban apabila hikmah itu kausalitas.
Memang, al-Quran sendiri pun mengatakan bahwa “يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ (Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki)”. Kita juga dapat memahami bahwa hikmah itu tidaklah didapati lewat empirically, tapi ia bersama situasi yang Allah pahamkan kita untuk itu.
Pertanyaan terakhir, bagaimana Allah memahamkan hikmah kepada kita? Jawabannya tegas, “atas kehendak Allah”. Sebab hikmah adalah kehendak Allah, sekali lagi, tidak berlaku kausalitas dan tidak bergantung pada kemampuan kita dalam mengobservasi secara empiris. Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Allah sudah takdirkan kita memiliki energy untuk berdoa dan kekuatan untuk mempertahankan diri agar senantiasa berbaik sangka kepada Allah; mudah-mudahan takdir yang kita miliki ini bisa menjadi langkah kita untuk meniti jalan hikmah.