Ekonomi yang Berkah: Menjaga Nilai, Membangun Keberlanjutan
Oleh Prof. Dr. H. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A.
Dekan FEBI UIN Sumatera Utara
Berkah adalah inti dari rezeki, berlabuh pada sistem perdagangan, transaksi, serta interaksi yang berlandaskan muamalah. Sejarah ekonomi sebagai gerak sosial berawal dari alat tukar dan sistem barter, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial dan perubahan zaman.
Keberkahan bukan sekadar hasil akhir, tetapi juga proses yang menyertainya. Dalam konteks Islam, para ulama sering mengaitkan keberkahan dengan tiga aspek utama: ziyadatul thaat (bertambahnya ketaatan), ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan), dan ziyadatul manfaat (bertambahnya manfaat). Ketaatan mencerminkan sensitivitas spiritual individu, kebaikan sebagai refleksi nilai teologis, dan manfaat sebagai wujud dari interaksi sosial yang berkeadilan.
Dalam kajian filsafat, kebenaran dapat ditelusuri melalui berbagai pendekatan, baik material maupun imaterial. Jika manusia hanya berorientasi pada pencapaian material, maka cakrawala ekonomi akan menjadi sempit dan kering makna. Agama mengajarkan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur dengan angka, tetapi juga dengan ketenangan, keamanan, dan kemampuan bertahan dalam berbagai kondisi kehidupan. Prinsip ini sejalan dengan konsep ekonomi yang berbasis nilai, seperti ekonomi Pancasila yang tidak hanya menitikberatkan pada pertumbuhan materi, tetapi juga menciptakan harmoni sosial.
Seorang pelaku usaha harus memahami bahwa ikhtiar dalam mencari nafkah bukan sekadar usaha duniawi, melainkan bagian dari perjalanan spiritual. Usaha yang dijalankan dengan kejujuran dan kepatuhan pada aturan agama akan membawa keberkahan. Hasil yang diperoleh tidak hanya dinilai dari besarnya keuntungan, tetapi juga dari bagaimana Allah memberikan kemudahan, kecukupan, serta keseimbangan antara kepemilikan dan kebutuhan.
Menjaga keberlanjutan ekonomi Indonesia tidak hanya soal strategi bisnis dan kebijakan makro, tetapi juga tentang membangun mentalitas ekonomi yang berlandaskan ketaatan dan keberpihakan pada nilai-nilai keadilan. Keberkahan dalam ekonomi lahir dari kepatuhan terhadap aturan, baik dalam lingkup agama maupun moralitas sosial. Sebaliknya, kerakusan dan ketidakjujuran dalam transaksi melahirkan praktik ekonomi yang penuh ketidakpastian (gharar), wanprestasi, serta persaingan tidak sehat yang mengikis etika dan adab bisnis.
Untuk itu, penting membahas konsep teologi ekonomi yang Pancasilais, yang adaptif terhadap dua aspek utama:
- Ekonomi Berbasis Keagamaan
Sistem ekonomi yang merujuk pada aturan Tuhan, di mana halal dan haram menjadi rambu-rambu yang mengarahkan manusia dalam mencari rezeki. Dalam konsep ini, transaksi ekonomi tidak boleh bertentangan dengan prinsip etika dan moral agama. - Ekonomi yang Pancasilais dalam Konteks Keindonesiaan
Pancasila sebagai dasar negara memberikan pedoman ekonomi yang mengakomodasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Dalam sistem ini, agama menjadi pondasi moral, nilai kemanusiaan dan keadaban menjadi warna, nasionalisme menjadi kekuatan dan tujuan, sistem kemufakatan dan gotong royong menjadi metode, serta keadilan menjadi cita-cita utama.
Kampus sebagai pusat intelektual harus hadir dengan paradigma yang progresif, membangun pola pikir ekonomi yang lebih adaptif dan produktif. Ekonomi yang berkah bukan hanya tentang keuntungan sesaat, tetapi tentang kesejahteraan berkelanjutan yang diwariskan lintas generasi. Indonesia sebagai negeri yang kaya akan keberagaman harus mampu menjaga persatuannya dengan memastikan bahwa kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi menjadi milik seluruh lapisan masyarakat.