Paradigma Maqāṣidi
Ditulis oleh: Prof Dr. H. M. Syukri Albani Nasution, M.A
Disunting oleh: Ahmad Tamami Jakfar

Paradigma adalah istilah yang memiliki makna dan aplikasi yang luas, terutama dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan berbagai bidang lainnya. Secara sederhana, paradigma diartikan sebagai pola atau model berpikir yang digunakan untuk memahami, menjelaskan, atau menginterpretasikan suatu fenomena. Paradigma mencakup asumsi, teori, dan metode yang digunakan untuk memandang dunia atau fenomena tertentu (Kesuma & Hidayat, 2020).

Thomas Kuhn (1962) mengembangkan konsep paradigma dalam konteks ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, paradigma adalah kerangka teori, metode, dan standar yang diterima oleh komunitas ilmiah pada suatu waktu tertentu. Paradigma ini menentukan cara ilmuwan memahami dan menyelesaikan masalah dalam bidang studi mereka.

Dalam pembahasan paradigma, kita juga mengenal apa yang dimaksud dengan paradigma dominan dan krisis. Paradigma dominan adalah kerangka kerja yang berlaku dan diterima secara luas. Ketika ada masalah yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma yang ada, bisa timbul krisis (Nurkhalis, 2012). Jika solusi yang memadai ditemukan, paradigma baru mungkin menggantikan yang lama dalam suatu “revolusi ilmiah” (Kuhn, 1962).

Sementara itu, dalam filsafat, paradigma sering mengacu pada cara dasar seseorang memahami pengetahuan dan realitas secara universal, radikal, dan komprehensif. Contohnya, paradigma positivisme, interpretivisme, atau kritisisme. Keterangan ini relatif sama dengan paradigma dalam ilmu sosial, yang  mencakup pandangan mendasar tentang struktur masyarakat dan hubungan sosial, seperti paradigma fungsionalisme, konflik, atau interaksionisme simbolik.

Untuk lebih mudah, ada tiga ciri paradigma yang secara umum dikemukakan oleh para ahli,

  1. Asumsi dasar. Paradigma didasarkan pada asumsi dasar tentang bagaimana dunia bekerja atau bagaimana sesuatu seharusnya dipahami.
  2. Teori dan Metode. Paradigma mencakup teori dan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah atau menjelaskan fenomena.
  3. Konsensus. Paradigma umumnya diakui dan diterima oleh komunitas atau kelompok ilmuwan dalam bidang tertentu.

Secara praktis, paradigma akan membantu individu atau kelompok memahami dan menjelaskan kompleksitas dunia dengan cara yang terstruktur dan koheren. Namun, paradigma juga bisa membatasi cara berpikir, sehingga perubahan atau pembaruan paradigma sering kali diperlukan untuk penemuan atau pemahaman baru.

Dalam konteks hukum Islam, paradigma merujuk pada cara pandang dasar yang digunakan untuk memahami (teoritis) dan menerapkan hukum Islam (praktis). Paradigma ini mencakup prinsip-prinsip dan tujuan utama hukum Islam yang harus dicapai, seperti perlindungan terhadap dīn (agama), nafs (nyawa), ʿaql (akal), nasl (keturunan), dan māl (harta). Perlindungan atau pemeliharaan ini dikenal dalam kajian maqāṣid al-syarī’ah

Maqāṣid al-syarī’ah adalah kehendak Allah Swt. berupa kemaslahatan (al-maṣlaḥah) yang dimanifestasikan oleh-Nya melalui hukum-hukum (syariah). Karena itu, titik awal dan tujuan akhir dari hukum-hukum yang ditetapkan Allah Swt. kepada para hamba-Nya (syariah) adalah kemaslahatan (al-maṣlaḥah), baik di dunia maupun di akhirat.

Ada salah satu kata kunci yang selalu menjadi bagian ketika mendefinisikan maqāṣid al-syarī’ah, yaitu al-maṣlaḥah. Karena itu, tentu menjadi penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan al-maṣlaḥah tersebut. Merujuk pada pendapat al-Ghazali (w. 505 H) yang dimaksud al-maṣlaḥah adalah berekuivalen dengan المحافظة على مقصود الشرع. Pernyataan ini berarti al-maṣlaḥah merupakan suatu keadaan di mana al-syarī´ah dijaga atau diaplikasikan dalam kehidupan.

Dalam gagasan al-Ghazali, manifes al-maṣlaḥah dapat dilihat ketika manusia menjaga dan memelihara lima hal, yaitu: ḥifẓ al-dīn (menjaga agama), ḥifẓ al-nafs (melindungi jiwa), ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal), ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan), dan ḥifẓ al-māl (melindungi kepemilikan harta). Dan, segala yang mengancam kelima hal tersebut dinamakan dengan mafsadah. Maṣlaḥah adalah lawan mafsadah. Pendapat al-Ghazali tersebut dikenal dengan istilah al-usul al-khams (Al-Ghazali, 1992: 481-482).

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa, antara maqāṣid al-syarī’ah dengan al-maṣlaḥah memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tujuan syariah (maqāṣid al-syarī’ah) itu sendiri berupaya memanifestasikan kemaslahatan (al-maṣlaḥah); sedangkan cara untuk mendapatkan kemaslahatan dilakukan dengan “pemaknaan” terhadap tujuan-tujuan syari’ah.

Maqāṣid al-syarīʿah tentu saja berfungsi sebagai paradigma dalam hukum Islam. Ini adalah kerangka kerja yang mengarahkan bagaimana hukum Islam diterapkan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Paradigma ini berfokus pada pencapaian tujuan-tujuan umum hukum Islam, yang melibatkan perlindungan dan pemeliharaan kepentingan dasar manusia.

Paradigma maqāṣid al-syarīʿah akan mempengaruhi penafsiran dan penerapan hukum Islam. Misalnya, dalam situasi di mana teks-teks hukum tidak memberikan jawaban yang jelas, prinsip-prinsip maqāṣid al-syarīʿah digunakan untuk menafsirkan hukum dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan utama syariah.

Paradigma ini juga mempengaruhi bagaimana hukum Islam diterapkan dalam konteks modern, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan kontemporer sambil tetap setia pada tujuan-tujuan syariah. Bersama maqāṣid al-syarīʿah, paradigma hukum Islam dapat mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pemikiran dan konteks sosial. Penerapan maqāṣid al-syarīʿah dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan konteks sosial untuk memastikan bahwa hukum tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuannya.

Menggunakan maqāṣid al-syarīʿah sebagai paradigma akan membantu dalam pengembangan dan reformasi hukum Islam yang lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan sosial di berbagai bidang. Tentu saja, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar dan tujuan syariah.

Dengan demikian, paradigma maqāṣid al-syarīʿah berfungsi sebagai kerangka dasar dalam memahami dan menerapkan hukum Islam, dengan fokus pada tujuan-tujuan kesejahteraan manusia. Kompleksitas hukum yang dihadapi dalam penerapan prinsip-prinsip syariah memerlukan paradigma yang fleksibel dan responsif, yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan sistem hukum yang ada dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah. Paradigma ini memungkinkan penerapan hukum yang adil dan relevan, sambil tetap berpegang, sekali lagi, pada prinsip-prinsip dasar dan tujuan syariah.

Daftar Bacaan
Al-Ghazali (1992), al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Usul. Tahqiq Hamzah bin Zuhair Hafidz. Madinah al-Munawwaroh: t.tp.
Kesuma, U., & Hidayat, A. W. (2020). Pemikiran Thomas S. Kuhn: Teori revolusi paradigma. Islamadina, 21 (2)
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Leiden: Instituut Voor Theoretische Biologie.
Nurkhalis. (2012). Konsep epistemologi paradigma Thomas Kuhn. Jurnal Substantia, 14 (2)

artikel ini pertama kali dipublikasikan di:
https://www.ahmadtamami.com/2024/08/paradigma-maqasidi.html
sebagai tulisan tamu