Kerukunan Itu Gak Ribet, Bro! FKUB Kota Medan & UIN Sumatera Utara Ajak Gen Z SMA Tanamkan Nilai Kerukunan di Tengah Keberagaman

Medan, 3 Oktober 2025 — Narasi kerukunan harus terus disuarakan secara inklusif, dan kali ini semangat itu hadir di SMA Negeri 2 Medan. Dalam kegiatan penyuluhan nilai-nilai kerukunan yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan, ratusan siswa diajak untuk memahami bahwa harmoni dan saling menghargai bukan sekadar teori, tetapi napas kehidupan bangsa yang majemuk.

Kegiatan ini menghadirkan dua tokoh inspiratif yang punya pandangan segar tentang kerukunan di era digital: Muhammad Yasir Tanjung, S.Pd.I., Ketua FKUB Kota Medan, dan Prof. Dr. H. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A., Wakil Bendahara FKUB Kota Medan sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sumatera Utara.

Dalam sambutannya, Muhammad Yasir Tanjung menegaskan bahwa kerukunan bukanlah konsep yang hanya layak dibahas di forum formal. Justru, katanya, ia harus dihidupkan di ruang-ruang yang dekat dengan generasi muda.

Kerukunan itu bukan hanya tanggung jawab orang tua atau tokoh agama. Kalian, anak-anak SMA hari ini, adalah penggeraknya. Di tengah derasnya arus informasi dan perbedaan, kalianlah yang menentukan warna masa depan Indonesia,” ujarnya penuh semangat.

Beliau juga menyoroti tantangan Gen Z yang hidup dalam dunia digital yang serba cepat dan penuh perbedaan pandangan.

Kerukunan itu sensitif di kalangan kalian, tapi juga paling berharga. Di media sosial, satu kata bisa menyulut perpecahan, tapi juga bisa menyalakan harapan. Pilihlah jadi pembawa cahaya,” tambahnya.

Suasana aula SMA Negeri 2 Medan pun terasa hidup. Para siswa mendengarkan dengan antusias, sesekali mengangguk, dan beberapa bahkan mencatat kalimat yang terasa “menampar lembut” di hati.

Giliran Prof. Dr. H. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A. berbicara, suasana berubah menjadi hangat sekaligus reflektif. Dengan gaya khasnya yang santai namun dalam, ia mengajak siswa memahami makna kerukunan lewat contoh yang sangat membumi:

Sekarang ini, lucunya, banyak yang lebih cepat komentar daripada memahami. Kadang belum tahu masalahnya, udah ikut panas. Nah, di situlah pentingnya moderasi — bukan cuma soal agama, tapi juga cara berpikir. Kalau kita bisa menahan jempol sebelum nge-judge orang, itu juga bentuk kerukunan.

Tawa kecil dan tepuk tangan panjang langsung memenuhi ruangan. Pesan itu sederhana, tapi membekas.

Dalam sesi diskusi, beberapa siswa menyampaikan pandangan mereka tentang makna toleransi di lingkungan sekolah. Seorang siswi mengaku kegiatan ini membuatnya sadar bahwa kerukunan tidak berhenti pada slogan.

Kadang di sekolah aja, perbedaan kelompok atau cara berpikir bisa bikin renggang. Tapi setelah acara ini, saya sadar — kerukunan itu bukan soal setuju atau nggak setuju, tapi cara kita menghargai perbedaan.

Penyuluhan ini berlangsung dalam suasana hangat, penuh dialog dua arah. Tidak ada jarak antara narasumber dan peserta. Justru, semangat kebersamaan terasa kental di setiap percakapan.

Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa Indonesia yang beragam ini membutuhkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga dewasa dalam menyikapi perbedaan. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Syukri Albani,

Kalau kalian bisa hidup rukun di sekolah, menghormati teman yang berbeda agama, pendapat, atau latar belakang, itu sudah bagian dari menjaga Indonesia. Kerukunan itu sederhana, tapi butuh hati yang besar.

Menutup kegiatan, Muhammad Yasir Tanjung mengajak seluruh siswa untuk terus menyalakan semangat persaudaraan dalam setiap tindakan kecil.

Semoga ke depan, kerukunan dan kemampuan mengakselerasi keragaman di bumi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika benar-benar jadi simbol persatuan bangsa ini. Karena kalianlah masa depan itu.

Dan dari wajah-wajah siswa yang berseri pagi itu, tampak jelas: masa depan Indonesia masih punya harapan yang terang.

Narasi ini ditulis oleh Fachrul Riza, M.K.M., dengan semangat yang sama seperti pesan hari itu — bahwa kerukunan bukan sesuatu yang diajarkan semata, tapi diwariskan lewat teladan, empati, dan keberanian untuk saling memahami.