Menyemai Moderasi Beragama dari Sekolah: Prof. Akmal Tarigan dan Prof. Syukri Albani Ajak Siswa Belajar Kerukunan dengan Cara yang Membumi

Medan, 27 September 2025 – Kerukunan bukan hanya kata indah di buku pelajaran, tapi bekal hidup yang nyata. Itulah suasana yang tergambar ketika Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan menghadirkan penyuluhan moderasi beragama di dua sekolah unggulan: SMA Sultan Iskandar Muda dan SMA Sutomo.

Dua tokoh akademisi UIN Sumatera Utara, yakni Prof. Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. (Prof. Akmal Tarigan) dan Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A. (Prof. Syukri Albani), hadir secara terpisah. Keduanya menyapa ratusan siswa dengan bahasa yang sederhana, penuh makna, dan langsung menancap di hati.


“Pelajar Hari Ini adalah Pemimpin Masa Depan”

Di SMA Sultan Iskandar Muda, Prof. Akmal Tarigan membuka penyuluhan dengan kalimat yang membuat suasana aula hening seketika.

“Pelajar hari ini adalah pemimpin masa depan. Kalau kalian sejak sekarang sudah paham arti kerukunan, bangsa ini tidak akan gampang goyah,” ujarnya.

Suasana langsung cair. Para siswa mendengarkan penuh perhatian, sebagian mengangguk, sebagian lagi sibuk mencatat. Diskusi pun berlanjut. Siswa bertanya bagaimana caranya menjaga persatuan ketika media sosial sering kali justru jadi pemicu perpecahan.

Dengan tegas namun lembut, Prof. Akmal Tarigan menjawab:
“Rajin ibadah itu penting. Tapi kalau kalian tidak bijak di medsos, gampang terbawa arus kebencian, itu berbahaya. Moderasi itu bukan hanya antaragama, tapi juga soal sikap cerdas menghadapi derasnya informasi.”


Menolong Itu Jangan Ditunda

Di SMA Sutomo, Prof. Syukri Albani menyapa siswa dengan gaya yang akrab, khas, dan penuh contoh nyata. Salah satu ilustrasinya langsung membuat siswa tertawa kecil, lalu hening merenung.

“Di pasar, pembeli dan penjual datang dari latar belakang berbeda. Si pedagang sayur mungkin Muslim, si penjual ikan bisa Kristen, pembelinya beragam. Tapi transaksi tetap jalan karena yang dicari adalah rezeki halal, bukan identitas. Kalau di pasar saja kita bisa rukun, kenapa di luar pasar kita sering ribut soal perbedaan?”

Pesan itu sederhana, tapi menusuk. Para siswa spontan bertepuk tangan, sebagian terlihat terharu. Di tengah ruang kelas, terasa ada kesadaran baru: kerukunan dimulai dari hati yang peduli, bukan dari identitas di KTP.


Suara dari Siswa

Kegiatan ini tidak hanya satu arah. Siswa-siswa berani berbagi pandangan. Seorang siswa SMA Sutomo dengan polos berkata:
“Saya jadi lebih yakin kalau keberagaman itu bukan masalah, tapi kekuatan. Kalau kami bisa rukun di sekolah, berarti kami juga bisa menjaga Indonesia tetap damai.”

Sementara di SMA Sultan Iskandar Muda, siswa lain menambahkan:
“Toleransi itu bukan cuma soal beda agama. Bahkan di kelas, menghargai pendapat teman juga bagian dari kerukunan.”


Sinergi Kampus, Sekolah, dan FKUB

Baik guru maupun kepala sekolah memberi apresiasi besar. Menurut mereka, menghadirkan profesor UIN Sumatera Utara langsung ke sekolah adalah langkah strategis. Para siswa tidak hanya mendapat teori, tapi juga teladan hidup dari akademisi yang peduli masa depan bangsa.

Prof. Akmal Tarigan menegaskan, “UIN Sumatera Utara berkomitmen penuh mendorong moderasi beragama. Tidak hanya di kampus, tapi juga di sekolah-sekolah. Kita ingin menanamkan benih kerukunan sejak dini.”

Senada, Prof. Syukri Albani menambahkan, “Moderasi beragama akan lebih kuat kalau semua pihak bergerak bersama. FKUB punya jaringan luas, kampus punya kekuatan akademis. Kolaborasi ini adalah kunci.”


Dari Medan untuk Indonesia

Penyuluhan ini memberi pelajaran sederhana namun dalam: kerukunan itu tidak bisa ditunggu sampai seseorang dewasa atau beruban. Ia harus ditanam sejak di bangku sekolah, saat pikiran masih jernih dan hati masih tulus menerima perbedaan.

Dari ruang-ruang kelas di Medan, tumbuh keyakinan baru bahwa generasi muda Indonesia bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga matang dalam sikap toleran. Mereka belajar bahwa menjaga persatuan bukan sekadar jargon, melainkan kebiasaan sehari-hari—mulai dari menyapa teman yang berbeda, menghargai pendapat yang tak sama, hingga saling menolong tanpa melihat identitas.

Dan dari senyum-senyum polos para siswa hari itu, terpancar cahaya optimisme. Cahaya yang memberi tanda bahwa masa depan bangsa ini tidak akan padam, karena di tangan merekalah kerukunan akan terus menyala, menerangi jalan Indonesia yang majemuk.


✍️ Ditulis oleh: Fachrul Riza, M.K.M.